Jakarta (ANTARA) - Pada Maret 2023, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui IPCC merilis laporan terbaru terkait perubahan iklim yang menyebutkan bahwa temperatur global telah mencapai 1,1 derajat Celcius lebih tinggi dari tingkat pra-industri.
Hal ini mengakibatkan kondisi cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Gelombang panas yang lebih intens dan curah hujan yang lebih tinggi dapat mengakibatkan bencana dan mengancam ketersediaan pangan dan air yang dibutuhkan manusia. Akhirnya, kesehatan manusia dan ekosistem di Bumi pun terganggu.
Risiko-risiko dari perubahan iklim juga berpotensi lebih sulit dikelola saat kejadian buruk, seperti pandemi dan konflik antarnegara terjadi.
"Hampir setengah dari populasi dunia hidup di wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dalam satu dekade terakhir, kematian akibat banjir, kekeringan, dan badai 15 kali lebih tinggi di daerah yang sangat rentan,” kata Aditi Mukherji, salah satu dari 93 penulis laporan tersebut.
Oleh karena itu, untuk menjaga temperatur global tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, emisi gas rumah kaca perlu dikurangi secara masif, cepat, dan berkelanjutan di semua sektor.
Indonesia sendiri menargetkan akan mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030 agar dapat mencapai target emisi nol karbon pada 2060.
Kontribusi bank sentral
Pembiayaan sebagai investasi untuk menjaga iklim Bumi perlu terus ditingkatkan. Di Indonesia, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah bersinergi untuk mendorong peningkatan penyaluran pembiayaan hijau.
Sinergi tersebut dilakukan guna memenuhi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon yang diperkirakan mencapai 281 miliar Dolar AS pada 2030. Hanya 34 persen dari pendanaan tersebut yang bisa dipenuhi oleh dana yang berasal dari publik atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia juga tak ketinggalan menelurkan serangkaian kebijakan untuk mendorong perbankan menyalurkan lebih banyak pembiayaan berwawasan lingkungan. Salah satunya melalui pelonggaran rasio loan to value (LTV) dan financing to value (FTV).
Pada 2020, Bank Indonesia memperlonggar LTV dan FTV bagi kredit atau pembiayaan properti berwawasan lingkungan yang dapat diberikan sampai 100 persen.
Perbankan juga bisa menyalurkan kredit atau pembiayaan kendaraan listrik dengan uang muka 0 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Manajemen Strategi dan Tata Kelola Bank Indonesia (BI) Dwityapoetra Soeyasa menyatakan terkait risiko dari masing-masing debitur, bank berkewajiban untuk melakukan penilaian pada masing-masing debitur.
Bank Indonesia juga memberikan kelonggaran bagi perbankan untuk memenuhi kewajiban Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) melalui pembelian obligasi berkelanjutan dan pemberian kredit atau pembiayaan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) selaku pengelola SDG Indonesia One.
Selain itu, insentif makroprudensial dalam bentuk pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro Rupiah di Bank Indonesia juga diberikan kepada perbankan yang menyalurkan pembiayaan ke sektor prioritas dan inklusif.
Bank Indonesia juga turut mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar menjadi UMKM hijau di tengah permintaan terhadap produk ramah lingkungan yang meningkat.
UMKM dinilai sebagai UMKM hijau berdasarkan berbagai indikator, yang meliputi aspek produksi, pemasaran, sumber daya manusia, dan keuangan.
Ekonomi keberlanjutan
Menyambut berbagai relaksasi dari Bank Indonesia, dalam rangka menjaga keberlanjutan lingkungan, perbankan di Tanah Air juga telah mendorong penyaluran pembiayaan hijau.
Salah satunya PT Bank Mandiri Tbk yang per Maret 2023 telah menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor yang menerapkan prinsip keberlanjutan lingkungan, keseimbangan sosial dan tata kelola usaha yang baik (ESG) hingga Rp232 triliun atau tumbuh 11 persen secara tahunan.
Pembiayaan tersebut, antara lain disalurkan kepada UMKM, sektor pertanian berkelanjutan, energi terbarukan, dan transportasi bersih, dan setara 25 persen dari portofolio perusahaan secara bank only.
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mencatat penyaluran kredit ke sektor berkelanjutan mencapai Rp180,8 triliun sepanjang kuartal I 2023, salah satunya kepada pembiayaan ekosistem kendaraan listrik senilai Rp327 miliar.
Pembiayaan yang disalurkan oleh bank itu kepada sektor berkelanjutan tersebut tumbuh 11,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan berkontribusi hingga 25 persen terhadap total portofolio pembiayaan.
Sementara itu, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) memiliki strategi khusus untuk menarik minat masyarakat agar melirik pembiayaan kendaraan listrik berbasis syariah, antara lain dengan margin kompetitif mulai 2,22 persen, uang muka mulai dari 0 persen, dan jangka waktu pembiayaan hingga 7 tahun.
Menurut data BSI, per Maret 2023, penyaluran pembiayaan mobil listrik telah mencapai Rp8,1 miliar yang juga mendukung kenaikan pembiayaan mobil sebesar 62,1 persen secara tahunan menjadi Rp3,1 triliun.
OJK mencatat kredit dengan total senilai Rp728,9 triliun juga telah disalurkan sebagai pembiayaan hijau per April 2023 dimana senilai Rp1,28 triliun disalurkan sebagai pembiayaan kendaraan listrik dan Rp28,9 triliun disalurkan untuk membiayai proyek terkait energi baru dan terbarukan (EBT).
Ke depan, dengan dukungan dari Pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK yang semakin masif, penyaluran pembiayaan kepada sektor-sektor berkelanjutan diperkirakan akan terus meningkat. Hal ini diharapkan dapat membuat Indonesia mencapai target Emisi Nol Karbon lebih cepat dari 2060.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023